Jalan Hidayah Sang Imam Denmark

Ia merasakan kerinduan akan Tuhan yang teramat sangat.

Oleh : Afriza Hanifa

Imam-Abdul-Wahid-Pedersen-220x220Reino Arild Pedersen merupakan imam pertama pengisi khotbah Jum’at di Denmark. Ia lebih terkenal dengan nama Abdul Wahid Pedersen, namanya setelah berislam, perjalanannya pun tak singkat. Ia menempuh banyak perjalanan hingga mendapat manisnya hidayah.

Perjalanannya dimulai saat usianya masih 16 tahun. Saat itu, ia memutuskan untuk meninggalkan agama yang ia anut dari kecil. Tujuannya ia ingin bebas dari afiliasi agama apa pun. Sejak itu, ia pun menjadi pemuda dengan pemikiran sangat bebas. Pedersen muda begitu liberal dan sekuler.

Dengan kebebasan hidup yang ia klaim, Pedersen mencoba banyak hal. Ia kemudian menginginkan hidup penuh kasih dan damai. Ia pun mencoba menjadi vegetarian, namun gagal. Ia tak bisa berpuasa daging terus-menerus.

Hingga usia 21 tahun, Pedersen hidup di bawah godaan kebebasan. Hingga suatu hari, ia meninggalkan Denmark bersama seorang teman karibnya. Kali ini ia ingin menerapkan Yin Yang dalam hidupnya. “Kami bepergian melalui Afrika, Asia, dan Timur Tengah. Prinsip kami saat itu, perjalanan akan membimbing kami untuk hidup berdasar hukum alam Yin dan Yang,” ujarnya, tertawa mengenang masa lalu.

Selama perjalanan itu, Pedersen menemukan beragam budaya dan agama. Ia pun kemudian mulai tertarik hal tersebut. Pedersen bertanya kepada diri sendiri, “Apa agamaku? Darimana aku berasal?” Namun, ia tak mampu mendefinisikan kehidupannya. Ia pun kemudian belajar spiritual di Rajasthan, India. Tak lama, ia kemudian menjadi penganut Hindu.

Empat tahun ia memeluk agama Hindu. Selama itu, Pedersen justru tergugah mengenai konsep Tuhan. Saat tak lagi menjadi penganut Hindu, Pedersen masih digandrungi pertanyaan tentang Tuhan. “Itu membuka minatku kepada Tuhan. Pencarian akan Tuhan pun aku mulai,” ujarnya.

Ia pun mempelajari beragam agama. Ia mencari konsep Tuhan. Hasilnya, ia mendapati bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Namun, Tuhan sesungguhnya hanyalah satu. Lalu di mana Tuhan itu?

Pedersen pun kembali ke Eropa. Ia menyendiri dan mencari eksistensi Tuhan. Dalam kesendirian dan kesunyian, ia berseru kepada Tuhan yang ia pun tak tahu ada di mana. “Jika Engkau memang ada, Engkau bisa mendengar saya. Jika Engkau memang ada, Engkau bisa melihat saya. Jika Engkau memang ada, Engkau tahu kebutuhan saya,” seru Pedersen. Ia berharap Tuhan dapat membimbingnya.

Menemukan Islam

Saat pulang ke Denmark setelah perjalanan panjang, Pedersen memilih pindah ke pedesaan dan merawat kebun. Di sana ia mencoba menenangkan diri dalam pencarian Tuhan. Dalam beberapa waktu, ia sering kali duduk menyendiri di kamar, menyeru Tuhan. Ia berdoa agar Tuhan membimbingnya. “Aku buta, tuli, bisu, dan tak tahu apa yang baik buat saya, berilah saya bimbingan,” doa Pedersen yang terus ia ulang setiap waktu.

Doanya terijabah. Suatu hari seorang teman lama mengunjunginya. Teman lamanya itu telah berislam. Ia mengajak Pedersen untuk menjelajahi Gurun Sahara. “Ia merencanakan perjalanan ke Gurun Sahara untuk belajar beberapa hal dari suku Tuareg. Ia meminta saya untuk bergabung dengannya karena ia tahu bahwa saya telah menyeberangi Gurun Sahara sebelumnya. Saya langsung setuju untuk ikut. Gurun selalu membuat saya tertarik. Sebelum berangkat, saya menegaskan bahwa saya tak tertarik untuk menjadi seorang Muslim. Saya tidak keberatan tinggal di antara Muslim, tapi saya tidak akan masuk Islam,” ujar Pedersen mengenang.

Pedersen pun melakukan perjalanan bersama Muslimin. Banyak hal yang kemudian menjadi pengetahuan baru baginya. Bagaimana mereka sholat, berjama’ah, berwudhu, berdoa. Ia juga kaget dengan adanya panggilan adzan.

“Melihat mereka aku merasa malu. Belum pernah saya merasa malu seperti itu. Saya malu karena tak rajin berdoa. Saya tak banyak meluangkan waktu untuk Tuhan. Waktu untuk Tuhan hanya di sisa waktu saya saja. Ketika saya cenderung pada keinginan dan kebutuhan pribadi, orang-orang itu justru memberikan waktunya untuk Tuhan,” ujar Pedersen.

Tak lama ia mulai mempelajari Islam. Ia mulai ikut serta dalam sholat mereka, berdoa dan diskusi bersama. Saat itulah cahaya Allah memasuki hati Pedersen. Ia merasakan kerinduan akan Tuhan yang teramat sangat. Ia jatuh hati pada Islam. Pedersen kemudian memeluk agama Islam.

“Setelah masuk Islam, saya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang apa yang saya cari selama ini. Karena kenyataannya, saya selalu menjadi Muslim di hati saya. Saya sangat bersyukur menempuh jalan ini dan mendapat kebaikan Allah yang terus mengalir di hidup saya,” ujar Pedersen terharu.

About me, myself n i

ingin orang lain mengetahui apa yang perlu diketahui..

3 thoughts on “Jalan Hidayah Sang Imam Denmark

Tinggalkan komentar